Carnegie Mellon University dalam penelitiannya memuat semacam resume CV dan jejaring sosial palsu yang ditujukan ke beberapa perusahaan. Tim peneliti menemukan hampir sepertiga perusahaan di Amerika Serikat mencari informasi kandidat pelamar di jejaring sosial.
Hasilnya, akun pelamar yang profilnya beragama Islam lebih jarang dipanggil dibanding yang Kristen. Pelamar beragama Kristen mendapat undangan wanwacara sebanyak 17 persen perusahaan, dibanding yang Islam hanya sebesar 2 persen. Ini bisa menjadi contoh kasus terbaru bahwa jejaring sosial telah memberikan pengaruh diskriminasi dalam perekrutan pegawai.
Christina Fong, peneliti senior di Carnegie Mellon mengatakan, pengaruh adanya diskriminasi dalam proses perekrutan dengan cara ini terjadi secara sadar maupun tidak. Dalam artian, perusahaan dapat terpengaruh, meski mereka tanpa menyadarinya saat memilih, mana pegawai yang cocok untuk mendapat panggilan kerja. Sebagai contoh, pada era sebelum adanya jejaring sosial, beberapa studi menemukan terjadi diskriminasi perekrutan kerja lantaran nama pelamarnya biasa dipakai oleh warga Afrika-Amerika.
Sebagian perusahaan yang disurveinya mengaku, menggunakan jejaring sosial sebenarnya untuk mencari tahu perilaku tidak profesional yang dilakukan calon pegawainya, seperti sering mengeluh soal bos sebelumnya atau adanya percakapan mengenai narkoba atau memposting foto amoral.
Namun, permasalahan diskriminasi muncul ketika HRD mengecek profil akun jejaring sosial pelamarnya, seperti agama dan kecenderungan seksual. Padahal, hukum di beberapa wilayah di AS telah melarang perusahaan, menggunakan kedua kategori itu sebagai pertimbangan dalam memperkerjakan seseorang. “Perusahaan umumnya menghindari bertanya tentang masalah ini ketika wawancara, namun teknologi kini mempermudah mereka mengetahui informasi tersebut,” ujar Alessandro Acquisti, profesor teknologi informasi dan kebijakan publik di Carnegie Mellon.
Sumber: WSJ
0 comments:
Post a Comment